(Foto Kegiatan Santri Sebelum Pandemi)
Menuntut
ilmu hukumnya wajib bagi seluruh muslimin dan muslimah sejak ia dilahirkan
sampai ajal menjemput. Dalam sebuah Hadis pun disebutkan tentang keutamaan
mempelajari ilmu pengetahuan dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ
فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa
yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan
menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Dalam
hadits lain dikatakan bahwa jika seseorang ingin mendapatkan kesukesan di dunia
dan akhirat, maka ia harus menuntut kedua ilmunya. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw :
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ
أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Barang
siapa menginginkan kebahagian dunia, maka tuntutlah ilmunya. Dan barang siapa
yang ingin kebahagian akhirat, maka tuntulah ilmunya. Dan barangsiapa yang
menginginkan keduanya, tuntutlah ilmunya.”
Hanya
saja kita wajib pula mengetahui adab dalam menuntut ilmu, agar ilmu yang kita
pelajari dapat bermanfaat baik bagi diri sendiri atau pun bagi orang lain, baik
saat di dunia, atau pun saat di akhirat. Berikut 7 hal yang harus dilakukan
oleh para pencari ilmu :
1. Niatkan
untuk Mencari ridha Allah
Niat
mencari ilmu haruslah lillahi ta'ala (tujuannya karena Allah). Kita
tidak boleh mencari ilmu, hanya untuk sekedar mengejar materi duniawi. Jika niat
kita dalam mencari ilmu adalah untuk mendapatkan ridha Allah SWT, maka kita
akan mendapatkan keduanya, yaitu keberkahan di dunia maupun kebahagiaan di
akhirat. Ibarat kita menanam jagung, maka kita juga akan mendapatkan rumput. Tapi
jika kita hanya menanam rumput, kita tidak akan mendapatkan jagung.
Rasulallah
saw bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia
lakukan untuk mencari wajah (ridha) Allah dengan ikhlas, tetapi ia tidak
melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka kelak ia tidak
akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad).
2. Selalu merasa haus akan ilmu
Ketika
kita menuntut ilmu, kita tidak boleh sombong dan merasa sudah tahu segalanya.
Justru saat menuntut ilmu kita harus merasa tidak tahu apa-apa, selalu haus
akan ilmu pengetahuan. Orang yang merasa dirinya sombong, ilmunya tidak akan
bertambah. Sebaliknya, orang selalu merasa haus akan ilmu, dia akan merasa
senang saat menuntut ilmu.
Bersungguh-sunggu
dan terus merasa haus akan ilmu merupakan suatu sikapyang mencerminkan dirinya
berlomba-lomba dalam kebaikan. Lelah dan bosan tentu menghiasai, namun semangat
untuk terus menambah ilmu lebih bergelora dibandingkan lelah dan bosan
tersebut. diceritakan dalam Siyar A’lam An-Nubala bahwa Abdullan bin Mubarak
menunjukkan keheranan, bagaimana mungkin seseorang jiwanya baik jika tidak mau
menuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Beliau berkata,
عجبت
لمن لم يطلب العلم, كيف تدعو نفسه إلى مكرمة
“Aku
heran dengan mereka yang tidak menuntut ilmu, bagaimana mungkin jiwanya bisa
mengajak kepada kebaikan.”?
3.
Menjauhkan diri dari maksiat
Suatu
ketika, Imam Syafii pernah berkeluh kepada gurunya karena hafalannya sangat
lemah. Kemudian, gurunya Imam Syafii menyarankan agar ia menjauhi segala bentuk
kemaksiatan. Menurut gurunya, ilmu adalah cahaya Allah, ia tidak akan diberikan
pada orang-orang yang berbuat kemaksiatan.
4.
Berusaha mengamalkan ilmu dengan sebaik-baiknya
Ilmu
yang bermanfaat adalah harapan semua orang. Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang
siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya (amalnya tidak
semakin baik), maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah.” (HR Ad-Darimi).
5. Diam dan memperhatikan apa yang disampaikan guru
Sudah
sewajarnya seorang murid mendengarkan apa yang disampaikan gurunya. Hal ini
selaras dikatakan Allah dalam Surah Al-A'raf ayat 204 yang artinya:
...Dan
apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat
rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204).
6. Berusaha memahami, menghafal, dan menyampaikan ilmunya
Dalam
sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah memberikan cahaya
kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya,
menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fikih kepada
orang yang lebih faham daripadanya....” (HR. At-Tirmidzi).
7.
Mencatat ilmu yang dipelajari
Menulis
adalah bekerja untuk keabadian, termasuk mengabadikan ilmu yang kita pelajari. Ilmu
harus dicatat, agar saat kita lupa kita bisa membacanya lagi. Umar bin
Al-Khatthab berkata :
قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
“Ikatlah
ilmu dengan dengan menulisnya”
(HR.
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:106. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits
ini shahih dengan berbagai jalan penguatnya, lihat Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, no. 2026).
Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ
قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ
فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ
غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ
Ilmu
adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya, Ikatlah buruanmu dengan tali yang
kuat.
Termasuk
kebodohan kalau engkau memburu kijang, setelah itu kamu tinggalkan terlepas
begitu saja.
(Diwan Asy-Syafi’i)a